Jumat, 23 Mei 2014

Cinta Pertama

Diposting oleh fenty indrastuti di 05.14 0 komentar
Hari itu dia masih terlihat sama seperti hari-hari biasanya, terlihat sebagai lelaki paling "ganteng" dimataku. Gak ada yang berubah dari penampilannya, mata sipitnya, kulit putihnya, tinggi tubuhnya dan tentu saja senyum menawan yang selalu membuatku tak pernah bisa berkata-kata saat berada didekatnya. Tapi ada yang berbeda dengan pertemuanku kali ini dengannya, yang biasanya kita hanya berbalas senyum saat bertemu, kali ini dia mengajakku berbicara. Bibirku tak lagi terkunci saat berbicara dengannya, tubuh ini tak lagi mematung saat berhadapan dengannya. Sebaliknya, kita justru sedang asyik duduk bercengkrama berdua seolah-olah kita adalah sepasang kekasih yang sedang memadu cinta. Cinta. Kata itu memang selalu sulit dijelaskan dengan kata-kata. Tapi saat mengenalnya, aku mulai tau apa itu cinta. Aku bisa tiba-tiba merasa bahagia hanya karena membayangkan wajahnya, dan aku bisa tiba-tiba merasa sedih saat tau dia bersama wanita lain. Dia...dialah orangnya...orang pertama yang tanpa dia sadar telah memberiku perasaan yang belum pernah sebelumnya aku rasakan saat mengenal orang lain. Dia juga orang pertama yang membuatku merasakan rasa untuk bisa memiliki seseorang. Dia..dialah orang itu, tanpa dia tau sedikitpun tentang perasaanku untuknya. Orang itu, orang yang diam-diam aku cintai tiba-tiba berada dekat dihadapanku saat ini. Berada dalam jarak yang begitu dekat, bahkan dengan jarak yang sedekat ini aku bisa merasakan hembusan nafasnya, dan dengan jarak sedekat ini aku bisa dengan mudah memegangnya. Dia terlihat sangat nyata, senyum itu nyata diberikan untukku. Apakah mungkin, saat ini Tuhan telah mengabulkan doa-doaku agar mendekatkan dia untukku? Ataukah mungkin dia diam-diam tau perasaanku sehingga dia mendekatiku? Orang yang terlihat sangat nyata itu tiba-tiba memudar dalam pandanganku, bahkan lama-lama dia menghilang. Dia menghilang tiba-tiba tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dengan jarak yang sedekat itu, aku hanya bisa melihat wajahnya tanpa pernah mendengar suaranya. Dia...dia yang sebelumnya sangat dekat, kini telah menghilang tanpa pamit terlebih dahulu. Tiba-tiba air mata ini menetes tanpa aku tau kenapa. Yaaa....aku sedang menangis, menangis tanpa tau sebabnya. Tapi kemudian aku terbangun, aku bangun dengan keadaan dimana mataku sembab oleh air mata. Aku bangun dan kemudian tersadar kalo ternyata itu hanya mimpi. Mimpi itu indah tapi kenapa aku harus terbangun dengan keadaan basah oleh air mata? Mimpi memang datang begitu saja tanpa kita tau apa yang kita mimpikan saat tidur. Saat terbangun, bahkan seringkali kita melupakan begitu saja mimpi yang datang dalam tidur kita.
Pukul 7 pagi saat aku bangun dengan kesadaran penuh, ibuku tiba-tiba datang menghampiriku sambil bilang "dek, si... itu kan temenmu ya? tadi ibu denger siaran di masjid kalo dia meninggal." Aku mematung mendengar kata-kata itu. Meninggal??? dia meninggal??? orang yang beberapa saat lalu berada dekat denganku meninggal??? Sampai saat ini aku masih belum percaya kalo dia telah benar-benar pergi. Tapi pada kenyataannya dia memang telah pergi, pergi tanpa tau terlebih dulu perasaanku untuknya. Mimpi itu, mungkin akan menjadi kisah bahagia untuk diriku sendiri karena aku pernah merasakan berada sangat dekat dengannya. Mimpi yang indah tapi juga menjadi firasat akan adanya perpisahan, karena meskipun dalam mimpi itu kita terlihat dekat, tapi saat terbangun aku menangis. Menangis tanpa tau sebab kenapa...

Kamis, 22 Mei 2014

Sosok sempurna dalam hidupku

Diposting oleh fenty indrastuti di 20.18 0 komentar
Kurang lebih satu tahun ini aku merasa hidup sebagai orang yang paling tidak berguna. Aku merasa kehidupanku hanya sebagai beban untuk kedua orang tuaku. Semua ini terjadi ketika tiba-tiba satu tahun yang lalu dokter memvonisku sakit jantung. Penyakit yang saat itu terdengar sangat menakutkan, apalagi ketika dokter mengatakan penyakit jantungku ini bisa sembuh hanya dengan jalan operasi. Yang terlintas dipikiranku saat dokter mengatakan jalan satu-satunya untuk sembuh hanya dengan operasi adalah “aku sudah tidak punya harapan untuk hidup lebih lama.” Aku benar-benar depresi dan putus asa. Saat itu aku baru saja lulus dari sebuah universitas swasta di Yogyakarta. Sebuah kelulusan yang seharusnya menjadi sebuah kabar bahagia dan tentunya menjadi sebuah awal baru untuk melanjutkan mimpi-mimpi yang dulu pernah tertunda. Mimpi itu dengan seketika pudar secara perlahan ketika tubuh ini makin lama semakin melemah. Semenjak vonis sakit itu, daya tahan tubuhku semakin melemah. Aku tidak bisa beraktifitas dengan maksimal, bahkan jika sedikit saja aku merasa kelelahan aku langsung ambruk dan langsung masuk rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan yang mungkin hanya aku rasakan sementara dengan bantuan oksigen dan uap. Disaat teman lain berbahagia karena setelah lulus mereka diterima kerja di perusahaan dan menikmati gaji dari hasil kerja kerasnya, aku justru sedang terbaring lemah di rumah sakit. Ketika teman lain memberikan berita bahagia dengan memutuskan menikah setelah lulus kuliah, aku justru sedang berjuang melawan rasa sakitku dengan penyakit yang aku derita. Disaat teman lain menunjukkan kemandirian kepada orang banyak, aku justru hidup tak bisa lepas dari bantuan orang lain. Rasanya aku selalu ingin menyalahkan kehidupan ini. Aku merasa seolah kehidupan ini tak pernah adil untukku. Seringkali kali juga aku justru selalu meminta kepada Tuhan kenapa aku masih diberi kehidupan jika hanya membebani orang banyak. Disaat aku terus menyalahkan Tuhan yang telah memberi ujian berat dalam hidupku, disisi lain aku melihat sosok tegar yang terus menyemangatiku untuk tidak putus asa tanpa kenal lelah. Ketulusan cintanya tak pernah luntur meskipun aku hanya bisa tergolek lemah ditempat tidur. Sosok itu terus ada mengisi hari-hariku tanpa sedikitpun tergores rasa amarah dan kecewa diwajahnya. Bukankah seharusnya dia marah kepadaku? Seharusnya dia memarahiku karena aku hanya bisa tertidur saat dia membutuhkan bantuan, dan seharusnya dia marah padaku karena dimasa tua yang seharusnya menjadi masa dimana dia melihat anaknya sukses dan bisa membahagiakannya justru saat ini anak itu justru menjadi orang yang semakin membebani hidupnya. Keputusanku yang lebih memilih untuk tidak melakukan operasi seperti apa yang disarankan dokter, membuat hari-hariku berlalu begitu berat. Orang tuaku terus saja tanpa pantang menyerah mengupayakan pengobatan untukku yang selalu menolak untuk melakukan operasi. Mulai dari pengobatan medis yang terus dilakukan, orang tuaku juga terus mencari informasi pengobatan alternatif dari saran orang-orang. Tapi, begitu bodohnya aku yang justru sering mengeluh, aku mengeluh karena obatnya yang pahit, pantangan makanan yang banyak, atau bahkan cara pengobatan yang sakit. Ya, selama aku sakit aku selalu mengeluh, mengeluarkan kata-kata yang tak seharusnya aku ucapkan disaat orang tuanya selalu menguatkanku. Memperlihatkan rasa putus asa disaat orang tuaku tak henti-hentinya terus menyemangatiku. Saat itu memang aku merasakan sakit luar biasa yang membuat tubuhku lemah tak berdaya. Tapi rasa sakitku ini hanya terasa sepersekian persen dari rasa sakitku ketika melihat kesedihan orangtuaku. Aku melihat ketulusan, keikhlasan, cinta kasih serta seluruh perasaan yang sulit diterjemahkan dengan kata-kata itu melalui orang tuaku. Terima kasih untuk segalanya, ucapan terima kasih yang pasti tidak akan akan pernah cukup untuk membalas segalanya. Meskipun mereka selalu mengatakan “tidak ada sedikitpun orang tua yang merasa direpotkan oleh anaknya”, tapi aku selalu menjadikan setiap cara mereka memperlakukanku adalah sebuah wujud nilai-nilai kehidupan.

Selasa, 20 Mei 2014

Sebuah cerita tentang keikhlasan

Diposting oleh fenty indrastuti di 06.32 0 komentar
Kisah ini memang tidak secara langsung aku alami, tapi kisah yang akan aku ceritakan ini benar-benar terjadi dari kisah nyata yang dialami oleh tetangga yang tinggal tepat disamping rumahku. Kisah ini mengajarkanku banyak hal tentang keikhlasan, ketulusan, serta pengorbanan seorang ibu kepada anaknya. Aku lupa kapan tepatnya keluarga ini pindah sebagai warga baru didesaku, yang aku ingat saat ini hanyalah mobil yang bolak-balik mengantar furniture rumah dengan model-model bagus kerumah warga baru itu. Untuk ukuran jaman dimana televisi hitam putih milikku sudah menjadi benda berharga saat itu, aku terkagum-kagum melihat lemari dengan ukiran cantik, televisi ukuran besar, dan juga benda yang belakangan aku tahu bernama “kulkas” (maklum waktu itu didesaku belum ada yang punya kulkas). Keluarga itu terlihat sangat bahagia dan tampak sempurna. Sang ayah bekerja sebagai pegawai di salah satu perusahaan teh dan sang ibu bekerja sebagai supervisor di perusahaan textile yang cukup besar di Jogja ini. Memang kalo dilihat dari jabatan, sang istri memiliki jabatan yang lebih tinggi dari suami dan tentu saja memperoleh penghasilan yang lebih tinggi diatas suaminya. Tapi hal itu tidak menjadikan alasan timbulnya percek-cokan didalam keluarga tersebut. Aku sebagai tetangga yang tinggal berdekatan dengan mereka jarang sekali melihat mereka berada dirumah, mungkin karena kesibukkan dikantor yang membuat mereka jarang berada dirumah dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Waktu itu anak pertama mereka baru berusia 6tahun ketika pindah kedesaku. Dan dia harus diasuh oleh seorang pembantu rumah tangga, karena kedua orang tuanya sibuk bekerja. Singkat cerita, setelah beberapa bulan menempati rumah baru didesaku ini, sang ibu akhirnya melahirkan anak kedua. Ketika sang anak berusia 3 tahun, ibu ini masih sibuk bekerja dan anaknya masih diasuh pembantu rumah tangga. Sampai akhirnya ibu ini menyadari kalo ada sesuatu yang ganjil dengan anak keduanya. Diusianya yang hampir 4 tahun, anaknya belum juga bisa berjalan dan berbicara. Akhirnya, suatu ketika sang ibu ini mengikhlaskan dirinya keluar dari pekerjaannya untuk mengasuh anaknya. Aku tahu kalo keputusan yang diambil itu sangat berat, tapi dengan keyakinan hati dia benar-benar keluar dari perusahaan besar dengan jabatan yang dia sandang. Sekarang setiap hari, aku bisa melihat ibu itu berada dirumah, mengendong anaknya yang semakin besar dan belum juga bisa berjalan. Bahkan aku sering melihat dia memandikan anaknya, menyuapi dan mengajak bermain. Pemandangan ini terlihat mengharukan buat aku, aku melihat begitu besar cinta dan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Keikhlasan untuk sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga dengan menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk mengurus rumah tangga dituturkan dia dengan sedikitpun tidak merasakan penyesalan. Bahkan dia mengatakan, dengan dia keluar bekerja, sekarang dia lebih dekat dengan suami dan anaknya. Dia semakin tahu apa yang diinginkan dan dibutuhkan suami serta anaknya meskipun dengan kehidupan sederhana tak seperti dulu. Memang ikhlas itu sulit untuk dijalani, seperti ibu ini yang sepertinya terlihat sulit mengikhlaskan dirinya untuk keluar bekerja dari perusahan besar dan jabatan tinggi yang dia sandang. Dia juga harus ikhlas menerima kenyataan kalo anak keduanya mengalami difable/gangguan mental. Tapi aku yakin akan ada buah manis dari keikhlasan yang dia jalani selama ini. Tulisan ini diikut sertakan dalam GIVE AWAY TENTANG IKHLAS.
 

my life...my story Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea