Kamis, 22 Mei 2014

Sosok sempurna dalam hidupku

Diposting oleh fenty indrastuti di 20.18
Kurang lebih satu tahun ini aku merasa hidup sebagai orang yang paling tidak berguna. Aku merasa kehidupanku hanya sebagai beban untuk kedua orang tuaku. Semua ini terjadi ketika tiba-tiba satu tahun yang lalu dokter memvonisku sakit jantung. Penyakit yang saat itu terdengar sangat menakutkan, apalagi ketika dokter mengatakan penyakit jantungku ini bisa sembuh hanya dengan jalan operasi. Yang terlintas dipikiranku saat dokter mengatakan jalan satu-satunya untuk sembuh hanya dengan operasi adalah “aku sudah tidak punya harapan untuk hidup lebih lama.” Aku benar-benar depresi dan putus asa. Saat itu aku baru saja lulus dari sebuah universitas swasta di Yogyakarta. Sebuah kelulusan yang seharusnya menjadi sebuah kabar bahagia dan tentunya menjadi sebuah awal baru untuk melanjutkan mimpi-mimpi yang dulu pernah tertunda. Mimpi itu dengan seketika pudar secara perlahan ketika tubuh ini makin lama semakin melemah. Semenjak vonis sakit itu, daya tahan tubuhku semakin melemah. Aku tidak bisa beraktifitas dengan maksimal, bahkan jika sedikit saja aku merasa kelelahan aku langsung ambruk dan langsung masuk rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan yang mungkin hanya aku rasakan sementara dengan bantuan oksigen dan uap. Disaat teman lain berbahagia karena setelah lulus mereka diterima kerja di perusahaan dan menikmati gaji dari hasil kerja kerasnya, aku justru sedang terbaring lemah di rumah sakit. Ketika teman lain memberikan berita bahagia dengan memutuskan menikah setelah lulus kuliah, aku justru sedang berjuang melawan rasa sakitku dengan penyakit yang aku derita. Disaat teman lain menunjukkan kemandirian kepada orang banyak, aku justru hidup tak bisa lepas dari bantuan orang lain. Rasanya aku selalu ingin menyalahkan kehidupan ini. Aku merasa seolah kehidupan ini tak pernah adil untukku. Seringkali kali juga aku justru selalu meminta kepada Tuhan kenapa aku masih diberi kehidupan jika hanya membebani orang banyak. Disaat aku terus menyalahkan Tuhan yang telah memberi ujian berat dalam hidupku, disisi lain aku melihat sosok tegar yang terus menyemangatiku untuk tidak putus asa tanpa kenal lelah. Ketulusan cintanya tak pernah luntur meskipun aku hanya bisa tergolek lemah ditempat tidur. Sosok itu terus ada mengisi hari-hariku tanpa sedikitpun tergores rasa amarah dan kecewa diwajahnya. Bukankah seharusnya dia marah kepadaku? Seharusnya dia memarahiku karena aku hanya bisa tertidur saat dia membutuhkan bantuan, dan seharusnya dia marah padaku karena dimasa tua yang seharusnya menjadi masa dimana dia melihat anaknya sukses dan bisa membahagiakannya justru saat ini anak itu justru menjadi orang yang semakin membebani hidupnya. Keputusanku yang lebih memilih untuk tidak melakukan operasi seperti apa yang disarankan dokter, membuat hari-hariku berlalu begitu berat. Orang tuaku terus saja tanpa pantang menyerah mengupayakan pengobatan untukku yang selalu menolak untuk melakukan operasi. Mulai dari pengobatan medis yang terus dilakukan, orang tuaku juga terus mencari informasi pengobatan alternatif dari saran orang-orang. Tapi, begitu bodohnya aku yang justru sering mengeluh, aku mengeluh karena obatnya yang pahit, pantangan makanan yang banyak, atau bahkan cara pengobatan yang sakit. Ya, selama aku sakit aku selalu mengeluh, mengeluarkan kata-kata yang tak seharusnya aku ucapkan disaat orang tuanya selalu menguatkanku. Memperlihatkan rasa putus asa disaat orang tuaku tak henti-hentinya terus menyemangatiku. Saat itu memang aku merasakan sakit luar biasa yang membuat tubuhku lemah tak berdaya. Tapi rasa sakitku ini hanya terasa sepersekian persen dari rasa sakitku ketika melihat kesedihan orangtuaku. Aku melihat ketulusan, keikhlasan, cinta kasih serta seluruh perasaan yang sulit diterjemahkan dengan kata-kata itu melalui orang tuaku. Terima kasih untuk segalanya, ucapan terima kasih yang pasti tidak akan akan pernah cukup untuk membalas segalanya. Meskipun mereka selalu mengatakan “tidak ada sedikitpun orang tua yang merasa direpotkan oleh anaknya”, tapi aku selalu menjadikan setiap cara mereka memperlakukanku adalah sebuah wujud nilai-nilai kehidupan.

0 komentar:

Posting Komentar

 

my life...my story Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea